Senin, 13 Agustus 2012

Setengah Tahun Fukushima


Direktur PLTN Fukushima Tak Gajian
Tentu saya sering menerima tamu dari Jepang. Kadang harus minta maaf karena waktu yang tersedia terlalu pagi: pukul 06.30. “Toh ini di Jepang sudah pukul 08.30,” gurau saya kepada tamu-tamu dari Jepang yang umumnya selalu serius itu.
Para tamu itu umumnya dari kalangan kelistrikan. Setelah urusan bisnis selesai, biasanya saya manfaatkan untuk menggali informasi mengenai kelistrikan di Jepang. Saya perlu belajar banyak dari para tamu dari negara maju itu. Dari mereka pulalah saya bisa terus memperbarui informasi mengenai kelanjutan nasib pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Jepang setelah terjadi peristiwa kebocoran PLTN Fukushima akibat tsunami 11 Maret lalu.

Semua PLTN di Jepang kini menjalani apa yang disebut stress test. Sebuah tes untuk mengukur tingkat ketahanan PLTN menghadapi stres besar, seperti stunami atau gempa yang besar. Tes itu masih terus berlangsung, di bawah pengawasan badan nuklir dunia. Yang tidak memenuhi syarat harus melakukan perbaikan dan dites ulang. Setelah 54 PLTN itu dinyatakan tahan terhadap stres besar, hasil tes itu kelak diberikan kepada pemerintah. Saat itulah pemerintah akan memutuskan: go atau no go.
Tidak ada yang tahu kapan tes itu bisa selesai. Tapi, melihat tingginya tingkat ketakutan masyarakat terhadap nuklir, banyak yang pesimistis pemerintah bakal berani mengizinkannya kembali. Saat ini memang masih ada 12 PLTN yang beroperasi, tapi tidak lama lagi juga bakal dihentikan. Begitu tiba saatnya unit PLTN tersebut harus dipelihara, operasinya harus dihentikan. Kemudian, sekalian harus menjalani stress test. Pengoperasiannya kembali harus menunggu izin baru dari pemerintah.
Berarti Jepang sedang dan akan kehilangan listrik sekitar 40.000 MW (seluruh listrik di Indonesia 35.000 MW). Memang angka itu hanya 15 persen dari total produksi listrik di Jepang, tapi konsekuensinya tetap besar. Semua industri besar di Jepang kini harus mengurangi konsumsi listriknya 15 persen.
Untuk mengatasi itu tidak ada jalan lain. Pembangkit-pembangkit tua yang sudah puluhan tahun tidak dipakai itu cepat-cepat diperbaiki. Sebentar lagi bisa dijalankan kembali. Tapi, semua orang tahu pembangkit-pembangkit itu sudah sangat tidak efisien. Apa boleh buat. Jepang harus memproduksi listrik dengan cara yang sangat mahal. Bahan bakar pembangkit-pembangkit tua itu adalah minyak solar. Jepang pun harus impor BBM senilai Rp 300 triliun/tahun.
Karena itu, meski krisis listrik nanti akhirnya teratasi, persoalan baru segera muncul: siapa yang harus membayar kemahalan itu” Tidak ada rumus lain: konsumenlah yang akan menanggung. Jepang kini sudah siap-siap menghitung rencana kenaikan listrik yang kelihatannya bisa mencapai 30 persen. Kalau ini sampai terjadi, kalangan industri di Jepang bakal berteriak. Angka kenaikan tersebut akan membuat struktur bisnis di Jepang berubah total. Nilai kompetisi ekspornya akan hancur.
Bagi pelanggan rumah tangga, ini mungkin tidak begitu berat. Memang tarif listrik rumah tangga di Jepang sudah sekitar USD 22 sen. Hampir empat kali lipat lebih mahal daripada tarif listrik di Indonesia. Berapa jadinya kalau harus naik 30 persen lagi” Tapi, karena pendapatan masyarakat di sana juga tinggi, tarif itu tetap terasa murah. Hanya 1,5 persen dari total pendapatan per rumah tangga.
Saya perkirakan perdebatan kenaikan tarif listrik di Jepang akan seru. Terutama antara masyarakat yang tidak mau nuklir dan industri yang menginginkan tarif listrik murah. Bayangkan, memproduksi listrik dengan minyak solar bisa lima kali lipat lebih mahal daripada nuklir.
Bagaimana dengan kalangan akademisi? Sama juga dengan di Indonesia, mereka selalu mempersoalkan ini: mengapa tidak beralih ke energi baru? Bukankah potensi tenaga matahari di Jepang mencapai 500.000 MW? Bukankah potensi geotermalnya mencapai 20.000 MW? Bukankah Jepang dikelilingi laut sehingga potensi tenaga anginnya bisa mencapai 100.000 MW? Apa artinya kehilangan 40.000 MW?
Memang selalu ada benturan antara logika akademisi dan logika perusahaan listrik. Mereka hanya selalu mengemukakan potensi. Akademisi selalu mengemukakan “yang mungkin dilakukan”. Sedangkan perusahaan listrik hanya melihat “yang bisa dilakukan”. Akademisi selalu berbicara masa depan. Perusahaan listrik harus mengatasi problem SAAT INI.
Kehilangan 40.000 MW adalah persoalan yang harus dipecahkan SAAT INI. Sedangkan listrik dari geotermal itu, kalaupun bisa dikerjakan, baru didapat tujuh tahun lagi!
Persoalan geotermal di Jepang sama saja: potensi panas bumi itu berada di gunung-gunung dan di hutan-hutan lindung. Tidak boleh disentuh, apalagi dibongkar-bongkar. Biarpun itu untuk proyek geotermal yang misinya sama dengan si hutan lindung itu: memperbaiki lingkungan. Rupanya sesama program green tidak bisa saling menyalip.
Di Jepang, persoalan geotermal lebih rumit lagi. Lokasi-lokasi panas bumi yang ada di pegunungan itu umumnya sudah dimanfaatkan untuk spa air panas! Atau spa yang mengandung belerang. Sudah menjadi pusat-pusat wisata mandi. Larisnya bukan main.
Memang para teknolog akan bisa menemukan jalan keluarnya: lakukan bor miring! Artinya, gunung itu dibor dari samping, dari luar lokasi hutan, dari jarak yang sangat jauh. Para teknolog bisa menemukan jalannya. Tapi, selama ini sudah telanjur ada pameo: mimpi indah para teknolog adalah mimpi buruk para ekonom. Proyek sumur miring seperti itu akan menjadi begitu mahal.
Kalau listrik di Jepang menjadi sangat mahal, persaingan Jepang dengan Korea semakin seru. Korea yang berambisi menggeser Jepang (yang sudah tergeser oleh Tiongkok tahun lalu) punya peluang lebih besar. Rakyat Korea yang tidak mempersoalkan nuklir bisa mendapat listrik jauh lebih murah. Dengan tarif listrik yang baru nanti, kalangan industri di Jepang memperkirakan tidak mungkin lagi berproduksi di dalam negeri. Mereka harus mengalihkan pabrik ke negara yang lebih murah listriknya, seperti Indonesia.
Tentu mereka berharap masyarakat Jepang berubah sikap. Toh, seberat-berat Fukushima, terbukti sampai saat ini tidak ada satu pun orang meninggal akibat nuklir itu. Memang, ada tiga pegawai PLTN Fukushima yang dinyatakan terkena radiasi yang melebihi ambang batas yang bisa diterima manusia. Tapi, tiga orang itu baik-baik saja dan kini sudah kembali bekerja. Tiga orang itu masih terus diobservasi sampai aman benar.
Hanya, penduduk yang diungsikan masih sangat besar. Belum tahu lagi kapan mereka bisa kembali ke kampung halaman. Ini persoalan besar. Traumanya begitu dalam.
Masih banyak pekerjaan besar yang harus diselesaikan oleh direksi dan karyawan perusahaan listrik itu: membangun benteng yang bisa mengurung Fukushima rapat-rapat. Dengan demikian, radiasi tidak keluar dari reaktor. Demikian juga radiasi yang telanjur menyebar ke radius 20 km harus dibersihkan dulu. Setelah itu, kelak, entah kapan, pengungsi bisa kembali.
Sebelum semua itu selesai, masyarakat listrik di Jepang masih sangat menderita. Terutama TEPCO, pemilik PLTN Fukushima, yang kini harus menanggung semua biaya itu. Begitu berat beban kerja dan keuangannya. Sampai-sampai semua direkturnya tidak boleh menerima gaji. Dan, gaji semua karyawannya harus dipotong 20 persen. Sampai waktu yang belum bisa ditentukan.(*)
Dahlan Iskan
CEO PLN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar