Senin, 13 Agustus 2012

Selamat Datang GIMIN, Banyak Daerah Menantimu


Sebenarnya, hanya ada lima keinginan rakyat yang utama di bidang listrik: (1) jangan ada krisis listrik, (2) jangan ada daftar tunggu, (3) jangan sering-sering mati, (4) tegangannya jangan turun-naik, dan (5) daerah-daerah yang belum berlistrik segeralah berlistrik.
Karena itulah, kalau bulan-bulan pertama saya di PLN lebih sering mengunjungi daerah yang krisis listriknya hebat, sekarang saya lebih sering ke daerah yang tegangan listriknya tidak stabil.

Di Jawa, tinggal Banten Selatan, Cianjur Selatan, dan Sukabumi Selatan yang tegangan listriknya masih kacau. Karena itu, pekan lalu, saya menjelajahi kawasan tersebut. Dua hari kemudian, saya ke daerah-daerah pinggiran Sumatera, tepatnya ke Dumai dan Bagan Siapi-api.
Secara konvensional, mengatasi tegangan yang rendah bisa dilakukan dengan membangun gardu induk (GI). Tapi, membangun GI memerlukan waktu dua tahun. Terlalu lama. Itu pun karena bupati Lebak yang mantan pengusaha yang agresif tersebut, Mulyadi Jayabaya, mau menyediakan tanah 2 hektare untuk GI di Kota Malingping. Perlu terobosan untuk mengatasi tegangan itu dengan cepat.
Saya langsung teringat pada GIMIN. Rasanya, GIMIN-lah bisa diandalkan untuk mengatasi tegangan listrik dengan murah dan cepat. Dengan GIMIN (gardu induk minimalis), tegangan bisa normal. Membangun GIMIN tidak seruwet membangun GI: cukup ada tanah dan trafo besar. Tidak perlu membangun gedung. Peralatan elektroniknya bisa ditempatkan di sebuah kontainer. Hanya, seperti yang dipesankan Nur Pamudji, direktur energi primer PLN yang dulunya selalu mengurus GI, proteksinya harus baik.
Direktorat Perencanaan dan Teknologi PLN langsung merumuskan standar GIMIN yang memenuhi persyaratan. Baik secara teknologi maupun kriteria wilayah. Ada wilayah yang harus diselesaikan dengan GI, tapi banyak juga wilayah yang cukup dengan GIMIN.
Di Sumatera, GIMIN bisa dipakai untuk mempercepat elektrifikasi. Kelistrikan di Sumatera masih jauh tertinggal oleh Jawa. Banyak kota besar yang hanya dilayani dengan satu atau dua GI. Kota Bengkulu, misalnya, hanya punya satu GI. Kalau ada persoalan di GI tersebut, seluruh Kota Bengkulu padam total. Pekanbaru yang begitu pesat hanya dilayani dua GI. Sumatera masih memerlukan ratusan GI baru.
Di Kota Bagan Siapi-api, saya mendapati kenyataan lebih parah: kota ini tidak punya GI sama sekali. Mungkin karena dianggap hanya kota nelayan yang kecil yang amat jauh. Padahal, saya benar-benar dibuat terkejut oleh perkembangan kota tua ini. Bagan Siapi-api ternyata lagi membangun diri secara besar-besaran. Bupati Dumai H Annas Maamun, yang meski sudah berumur 74 tahun terpilih kembali, kini sedang membenahi kota lama sekaligus membangun kota baru. Kota baru itu sangat dibanggakan penduduk setempat dengan menyebutnya “Putra Jaya Junior”. Putra Jaya adalah kota baru di Kuala Lumpur yang sekarang menjadi pusat pemerintahan Malaysia. Kota baru Bagan Siapi-api dibuat seperti Putra Jaya dalam ukuran kecil.
Jalan rayanya kembar, masing-masing tiga jalur. Bangunan-bangunan kantornya dibuat cukup jauh dari jalan raya. Dan yang membuatnya berpredikat “Putra Jaya Junior” adalah arsitekturnya. Seluruh bangunan di kota baru itu menggunakan model dua kubah. Bangunan kecil berkubah kecil. Yang besar berkubah besar.
Hampir semua gedung dinas, kejaksaan, dan pengadilan sudah jadi. Demikian juga, tiga gedung museumnya sudah berwujud: museum Tionghoa, museum Melayu, dan museum ikan. Sangat mengesankan. Baru kali inilah saya melihat ada kota baru yang dibuat di Indonesia dengan karakter yang kuat. Saya sudah sering melihat kota baru seperti ini di Tiongkok atau Malaysia, tapi baru di Bagan Siapi-api ini saya menemukannya dilakukan di Indonesia.
Di Jawa, tentu sudah banyak kota baru yang berkarakter. Tapi semuanya dibangun swasta. Seperti Citraland di Surabaya, BSD di Jakarta, Karawaci di Tangerang dan seterusnya. Tapi yang di Bagan Siapi-api ini yang membangun adalah pemerintah. Pemerintah daerah. Kabupaten kecil pula.
Karena saya tiba di Bagan Siapi-api sudah pukul 19.00, maka saya langsung tahu kelemahan terbesar kota baru ini: gelap gulita!
Malam itu juga, setelah sembahyang Isya yang agak telat di masjid baru yang cantik, kami membuka peta kabupaten Rokan Hilir yang beribukota di Bagan Siapi-api ini. Sambil duduk di karpet masjid yang masih harum itu wakil bupati H. Suyatno dan pimpinan wilayah PLN Riau Joko Abunaman menjelaskan pilihan-pilihan langkah yang harus diambil untuk mengatasi kegelapan itu.
Kabupaten ini punya ambisi besar untuk tidak kalah dengan kota-kota kecil di depan sana. Maksudnya kota-kota kecil di Malaysia yang jaraknya hanya 1,5 jam naik speedboat dari Bagan Siapi-api. Kota pantai Port Dickson di Malaysia, misalnya, adalah tetangga terdekat Bagan Siapi-api.
Di samping membangun kota baru bupati Maanan juga sedang membangun dua jembatan besar. Panjang totalnya hampir 1,5 km! Rasanya seperti mustahil sebuah kabupaten yang namanya jarang disebut di level nasional bisa mempunyai ide dan mampu membangun jembatan sebesar ini. Arsitekturnya sangat modern pula. Malam itu juga saya minta diantar untuk melihat proyek jembatan itu. Jam 4 subuh saya sudah harus meninggalkan Bagan Siapi-api.
Jembatan ini ternyata sudah setengah jadi. Lagi dikebut. Akhir tahun depan sudah harus berfungsi. Inilah jembatan kembar yang menghubungkan kota baru dengan wilayah terisolasi yang dikenal sebagai wilayah suku Kubu yang dulu disebut suku terasing itu. Jembatan ini untuk meloncati muara sungai Rokan yang lebar. Dibuat kembar karena di tengah-tengah sungai itu ada pulau seluas 3.000 ha. Pulau inilah yang dirancang untuk dijadikan tempat rekreasi. Termasuk lapangan golf. Pemain golf dari Singapura dan Malaysia akan dirangsang datang ke sini.
Begitu jembatan selesai, bupati tua tapi sangat gesit ini akan langsung membangun lapangan terbang. Lokasinya di kecamatan Kubu, kira-kira 3 km dari ujung jembatan. Tanahnya sudah disiapkan dan ijin-ijin ke pusat sudah diurus. Tanpa bandara, tidak akan ada orang yang mau datang ke Ba Yen, sebutan Bagan Siapi-api dalam bahasa Mandarin. Mana ada orang yang mau jalan darat selama 7 jam dari Pekanbaru ke kota ini.
Ada tujuan lain dibangunnya jembatan itu. Membuka isolasi kecamatan Kubu yang menjadi konsentrasi penduduk termiskin di propinsi Riau yang kaya-raya. Bupati Maanan ingin ada jalan raya dari Bagan Siapi-api sampai ke wilayah Sumatra Utara.
Melihat semangat bupati yang begitu menggebu-gebu dalam membangun negeri saya pun malu. Listrik harus segera baik di sini. Saya berjanji akan ke sini lagi untuk meresmikan gardu induk pertama di kota yang klentengnya saja lebih dari 25 buah. Rencana menambah mesin diesel di situ saya batalkan. Rencana membangun pembangkit listrik gas batubara juga saya urungkan. Semua itu tidak akan menyelesaikan masalah. Harus ada gardu induk di sini, seminimal apa pun! (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar