Jumat, 17 Agustus 2012

PLTS Bunaken Model untuk 100 Pulau Lain


Genset Dibongkar Disedekahkan ke Masjid
Inilah perjalanan yang happy ending. Meski awalnya menghadapi persoalan berat di Gorontalo, tapi bisa diakhiri dengan melihat proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di pulau Bunaken yang menyenangkan.
Kini memang lagi dicoba dua model pengembangan PLTS. Dua-duanya sudah beroperasi selama lima bulan. Sudah bisa dievaluasi baik-tidaknya. Model pertama berupa lampu Sehen yang dicoba di pedalaman Sumba Barat Daya. Model kedua dicoba di lima pulau termasuk pulau Bunaken di Sulut ini.

Model Sehen dirancang untuk desa-desa pedalaman yang rumahnya terpencar” seperti di NTT atau Papua. Model Bunaken didesain untuk pulau-pulau kecil yang terpencil yang jumlahnya ribuan itu.
Kesimpulannya: dua model ini sangat oke. Tidak ditemukan kelemahan mendasar. Masyarakat di dua wilayah tersebut juga menyenanginya. Maka model Sehen akan segera dimasalkan di NTT. Sedang model Bunaken segera dipakai di 100 pulau tahun ini juga. Kelak, 1000 pulau akan menyusul.
Perjalanan ke Bunaken Rabu lalu itu saya mulai dari Gorontalo. Meski baru mendarat pukul 21.00 kami langsung ke kabupaten Bone Bolango meninjau proyek PLTU di pantai teluk Tomini itu. Pertemuan dengan karyawan PLN Gorontalo baru dilakukan keesokan harinya pukul 05.00 sekalian dengan olahraga jalan pagi. Menjelang matahari terbit itu, dengan cara duduk lesehan di halaman, kami membicarakan keluhkan masyarakat setempat: seringnya listrik padam.
Mati lampu seperti itu seharusnya tidak sering terjadi lagi. Penyebab utamanya, yakni krisis listrik, sudah teratasi tahun lalu. Kerusakan-kerusakan trafo juga sudah sangat minim. Tapi mengapa masih sering mati lampu di Gorontalo” Yang kalau dijumlah di seluruh propinsi, masih tercatat 223 kali mati lampu di bulan Juni 2011?
Tidak sulit mencari tahu penyebab mati lampu itu. Penyebabnya tinggal satu: gangguan feeder (penyulang). Yakni terganggunya jaringan listrik. Karena tinggal inilah persoalan yang dihadapi maka semua karyawan sepakat bisa mengatasinya” dalam tiga bulan (Juli-Agustus-September). Bahkan pimpinan wilayah PLN Sulut-Sulteng menetapkan harus selesai sebelum datangnya bulan puasa yang tinggal kurang sebulan lagi. Bulan puasa termasuk bulan yang memerlukan pelayanan listrik secara khusus di Gorontalo.?
Meski penyebabnya satu, rintangannya cukup banyak. Misalnya ada jaringan yang panjangnya 160 km yang melewati hutan lindung. Ranting-ranting pohon yang menimpa jaringan listrik di situ tidak boleh dipotong. Ada UU yang mengatakan barang siapa memotong pohon di hutan lindung masuk penjara.
Begitu matahari terbit kami meninggalkan Gorontalo. Tidak sempat makan pagi tapi ada nasi kuning dan jagung rebus di dalam mobil. Inilah perjalanan panjang, berliku dan melelahkan. Tentu kami mampir-mampir di proyek dan di kantor ranting. Di ranting PLN Kwandang misalnya, saya lihat ada genset di belakang kantor. Saya minta genset itu dibongkar dan disedekahkan ke masjid terdekat. Kantor pelayanan PLN tidak boleh punya genset. Itu sama saja artinya tidak mempercayai pelayanan listriknya sendiri. Biarlah kantor PLN ikut mati lampu agar bisa merasakan penderitaan orang yang listriknya mati.
Di ranting Bolaang Mongondow Utara seorang ibu melaporkan prestasinya. Selama enam tahun menjadi manajer keuangan di situ tunggakan pembayaran listriknya nol! Hebat! “Tapi pangkat saya tidak naik-naik pak,” katanya. Saya pun mencatat namanya di dalam hati.
Di Baroko ada proyek penting yang hampir selesai. Gardu Induk di Baroko melakukan energise. Ini berarti transmisi dari Bitung sampai Gorontalo yang panjangnya 400 kms itu sudah bisa nyambung. Gorontalo yang 10 tahun lalu memisahkan dari dari Sulut pun kini tersambung lagi, di sektor listriknya.
Setelah delapan jam perjalanan, kami tiba di Motong, dekat Kotamubago. Kami mampir ke pembangkit listrik tenaga minihydro yang lokasinya di tengah pepohonan kelapa. Bulan lalu PLTM ini tenggelam oleh banjir. Untungnya pimpinan PLN Kotamubago sangat trampil. Dalam waktu seminggu PLTM ini berfungsi kembali. Peristiwa ini sangat menyedihkan teman-teman PLN Kotamubago karena seperti ikut menenggelamkan prestasi mereka selama ini. Yakni prestasi terbaik dalam menangani gangguan trafo maupun penyulang.
Di Motong kami memperoleh kenikmatan luar biasa –kenikmatan yang malamnya membawa sengsara. Ibu-ibu PLN di situ menyajikan makanan yang enaknya luar biasa: lembaran daun papaya yang digulung bersama daun singkong dengan bumbu-bumbu tertentu di dalamnya. Dimakan dengan udang goreng dan ikan rica-rica pedas, nikmatnya ampun-ampun.
Apalagi laparnya sudah berlebihan karena sudah lewat pukul 14.00. Saya pun makan bertambah-tambah. Bahkan saya tidak malu untuk minta dibungkuskan, untuk makan malam di perjalanan!
Kami pun meneruskan perjalanan ke Kotamubago dengan perut sangat kenyang. Inilah satu-satunya kota di seluruh Indonesia Timur yang belum saya kunjungi. Saya memang pernah ke sini, tapi 30 tahun lalu ketika menyiapkan koran pertama di Sulut. Kini Kotamubago majunya bukan main. Pantas disediakan listrik berapa pun selalu kurang!
Pukul 16.00 kami masih di Kotamubago. Makan siang di Motong tadi terlalu lama. Kami pun memperkirakan tengah malam baru akan tiba di Manado. Ini karena masih ada satu proyek lagi di Amurang yang menanti. Benar. Pukul 23.00 kami baru tiba di Manado. Perjalanan ini ternyata bukan 16 jam, tapi 18 jam!?
Tentu, saya memimpikan tidur yang lelap. Keesokan harinya harus bangun pagi-pagi untuk melihat PLTS Bunaken. Tapi baru satu jam memejamkan mata, perut saya berontak! Beberapa kali ke toilet tetap saja rasa mulas tidak berhenti. Hampir tiap jam saya harus ke belakang. Saya periksa isi toilet itu agar bisa tahu apakah ada yang berbahaya. Isinya ternyata daun singkong semua!
Menjelang pukul 05.00 saya mempertimbangkan untuk membatalkan perjalanan ke Bunaken. Apalagi saya sempat sempoyongan. Tapi teman-teman sudah menunggu di loby. Saya sendiri memang harus ke sana. Inilah PLTS yang akan jadi model untuk pembangunan proyek serupa di 100 pulau tahun ini dan kelak di 1000 pulau. Kalau proyek ini ternyata tidak baik biarlah bisa segera dibatalkan kelanjutannya.
Tiba di dermaga Bunaken saya jalan sangat cepat menuju lokasi proyek. Teman-teman mengira saya begitu bersemangatnya. Padahal saya punya maksud tersendiri: ingin cepat-cepat ke toilet. Untuk keenam kalinya.?
Perut saya memang masih menyimpan persoalan tapi PLTS di Bunaken ini” berfungsi dengan baik. Layak untuk contoh 100 pulau lainnya. Saya pun banyak bicara dengan anak muda yang menjadi penganggungjawab PLTS itu. Juga memeriksa data selama lima bulan. Termasuk melihat kotoran apa saja yang suka singgah ke panel surya dan bagaimana cara membesihkannya. Bahkan saya minta dilakukan pembersihan saat itu agar bisa tahu tingkat kesulitannya. Ternyata tidak sulit. Saya sendiri mencoba naik tangga untuk mempraktekkan cara pembersihan panel surya.
Selama lima bulan itu hanya sekali terjadi gangguan, tapi sangat kecil. Yakni ketika mcb (Mini Circuit Breaker) tidak bisa off. Tapi begitu alatnya diganti langsung teratasi. Gangguan terbanyak justru dari luar: dari penyulang yang terganggu pohon.
Kelelahan dua hari, ditambah hilangnya cairan yang terlalu banyak, ditambah sudah selesainya misi perjalanan ini, membuat keadaan asli badan saya muncul: lemas. Saya bergegas dibawa ke kapal, dijemput dokter dan diistirahatkan di hotel.
Memang masih ada satu acara, tapi masih beberapa jam lagi: saya harus menemui Gubernur Sulut Bapak Sinyo Sarundayang. Ini untuk membicarakan penyelamatan danau Tondano yang terancam pendangkalan sangat cepat. Ini danau legendaris kebanggaan masyarakat Sulut yang harus diselamatkan. Juga karena Danau Tondano menjadi sumber air bagi PLTA Tonsea yang menghasilkan listrik 50 MW untuk wilayah itu. Gubernur bertekad memulihkan danau itu. PLN menyediakan kapal keruknya.?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar