Jumat, 17 Agustus 2012

Mulai Daging Babi sampai Mikro LNG


Kalau Indonesia tahun lalu dipusingkan oleh lonjakan harga cabai, di Tiongkok kini sedang mengalami persoalan serupa. Bahkan dalam bentuk yang lebih berat: kenaikan drastis harga daging babi.
Kalau harga cabai saja bisa membuat raport inflasi Indonesia merah, apalagi pengaruh harga daging babi di Tiongkok. Gara-gara kenaikan harga daging babi itu, inflasi Tiongkok mengejutkan: 6,4 persen. Padahal, targetnya hanya 4 persen. Ini angka inflasi tertinggi di Tiongkok sejak 2008.

Setahun terakhir harga daging babi memang naik lebih 50 persen di Tiongkok, mencapai hampir Rp 35.000/kg. Seperti harga cabai di Indonesia tahun lalu, tingginya harga daging babi di Tiongkok juga menjadi pembicaraan yang meresahkan masyarakat hampir di seluruh negeri. Sampai-sampai pemerintah memutuskan untuk melepaskan cadangan daging babi nasional. Saat harga daging babi murah tahun lalu,  pemerintah memang membuat lumbung daging babi. Tapi,  jumlahnya belum sempat besar, baru 200.000 ton. Padahal, keperluan daging babi seluruh Tiongkok mencapai 40 juta ton setahun. Cadangan itu hanya cukup untuk keperluan satu hari saja!
Seperti juga cabai, mengatasi persoalan ini tidak mudah. Rangsangan untuk para peternak babi memang sudah diberikan. Tapi, untuk menunggu babi sampai bisa dijual di pasar, perlu waktu 1 tahun. Kalau persoalan cabai bisa diatasi dengan impor cabai besar-besaran (meski orang Indonesia mengeluh bahwa cabai impor kurang pedas), persoalan kurangnya daging babi di Tiongkok tidak bisa diselesaikan dengan cara yang sama. Harga daging babi di luar negeri lebih mahal. Di Surabaya, misalnya, harga daging babi mencapai Rp 60.000/kg atau hampir dua kali lipatnya. Maka, sampai Imlek tahun depan, tidak ada harapan harga daging babi turun drastis.
Ada kegelisahan lain di Tiongkok: wanitanya kian menyukai melahirkan dengan cara cesar. Persentasenya naik secara drastis dalam waktu yang singkat. Kini 51 persen wanita Tiongkok melahirkan dengan cara cesar. Ini merupakan persentase  tertinggi di dunia. Amerika Serikat saja, yang metode cesarnya sudah sangat lama, baru mencapai 30 persen.
Kenyataan itu dipicu oleh banyak hal. Terutama oleh banyaknya rumah sakit yang karena tuntutan bisnis merangsang wanita untuk melakukan cesar. Juga disebabkan oleh majunya teknologi yang membuat cesar lebih menjamin keselamatan bayi yang dilahirkan. Padahal, wanita di Tiongkok hanya boleh punya satu anak sehingga harta satu-satunya itu harus lahir sempurna.
Memang kebijakan hanya boleh punya satu anak sudah mulai dilonggarkan. Penduduk minoritas boleh punya anak banyak. Penduduk pedesaan yang memerlukan tenaga kerja muda untuk pertanian boleh memiliki dua anak sepanjang anak pertamanya perempuan dan jaraknya harus tujuh tahun. Kini kebijakan itu melonggar lagi untuk wilayah tertentu: boleh punya dua anak sepanjang bapak dan ibunya adalah anak tunggal. Provinsi Guangdong, misalnya, kini minta kelongaran seperti itu karena kian sulitnya mendapatkan tenaga kerja.
Dulu, untuk provinsi yang ekonominya luar biasa ini, bisa dengan mudah mendapatkan buruh dari daerah-daerah pedalaman. Kini, dengan pembangunan besar-besaran di daerah pedalaman, merantau ke Guangdong tidak lagi menarik.
“Dulu mimpi setiap anak yang baru lulus sekolah adalah pergi ke Guangzhou atau Shenzhen,” ujar seorang manajer pabrik mesin perminyakan di Chongqing, pedalaman Tiongkok, saat saya ajak ngobrol tentang ini Jumat lalu di kantornya di Chongqing. “Sekarang mimpi seperti itu tidak ada lagi,” katanya.
Kota Chongqing sendiri (dulu dikenal dengan sebutan Chunking) memang sudah berkembang menyerupai Shenzhen. Hutan pencakar langitnya, bandaranya, stasiun keretanya, monorelnya, jaringan jalan tolnya, hampir sudah tidak bisa dibedakan dengan kota besar lain di Tiongkok.
Kali ini saya ke Chongqing untuk melihat teknologi mengubah gas menjadi benda cair (LNG) dan teknologi memadatkan gas (CNG). Dengan teknologi ini, gas bisa disimpan untuk dipakai di saat masyarakat menggunakan listrik terbanyak pada pukul 17.00-22.00. Ini sekaligus bisa dimanfaatkan untuk menghindari penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang sangat-sangat mahal itu.
Dulu teknologi LNG dan CNG memang seperti kemewahan yang sulit dijangkau. Bayangan kita, membangun LNG itu harus seperti Bontang atau Tangguh atau Arun. Padahal, kini teknologi itu sudah lebih terjangkau. Bukan saja sudah ada mini LNG, bahkan sudah ke tingkat mikro LNG. Sedangkan kita, jangankan mini LNG. CNG pun, kita belum menggunakannya. Akibatnya,  kita terus terbelit untuk menggunakan BBM yang mahal. Padahal, seperti di Tiongkok ini, mikro CNG sudah digunakan sejak 20 tahun lalu. Waktu itu saya sudah meninjaunya di banyak daerah di Tiongkok seperti di Qingdao.
Ketika di Chongqing sekarang ini, saya melihat perkembangan mikro LNG dan CNG yang tidak terbendung lagi. Di kota Chongqing saja kini sudah ada 80 buah stasiun bensin yang menggunakan CNG. Kian banyak mobil yang tidak menggunakan BBM lagi. Bahkan, kini sedang dibangun stasiun mikro LNG yang kapasitasnya hanya 30 m3.
Ketika saya meninjaunya, proyek ini sedang diselesaikan. Tangkinya sudah terpasang, instalasi pengubah gas cair menjadi gas biasa (regasifikasi) juga sudah ada di tempatnya. Dari sini,  LNG dialirkan ke stasiun pengisian gas yang ada di sebelahnya sehingga taksi atau bus kota bisa mendapatkan gas dari LNG itu. Saya bayangkan bagaimana kalau pembangkit listrik di daerah-daerah kecil menggunakan teknologi itu. Hanya dengan empat  buah mikro LNG seperti itu, pembangkit listrik sebesar 5 MW bisa berjalan selama sebulan. Atau cukup dengan satu mikro LNG yang kapasitas tangkinya empat kali lipat dari itu. Kini sudah tersedia tangki dengan ukuran 30 m3, 40 m3, 60 m3,  dan 150 m3.
Semangat saya lebih berkibar lagi manakala pergi ke Kota Chengdu, ibu kota Provinsi Sechuan. Meski tujuan saya sama, yakni untuk melihat pabrik lain yang bergerak di bidang mini-mikro CNG dan LNG, tapi di situ saya mendapat penjelasan mengenai teknologi baru yang setengah tidak bisa dipercaya. Mereka menemukan teknologi mengubah udara menjadi benda cair dengan menggunakan kekuatan listrik.
Setelah udara menjadi benda cair, pada jam-jam beban puncak (17.00-22.00) cairan tersebut diubah lagi menjadi udara. Proses perubahan ini bisa untuk memutar turbin dengan efisiensi 60 persen. Memang ini sedikit lebih rendah daripada  persentase teknologi hydro pumped storage seperti yang akan dibangun PLN di Jawa Barat, namun banyak sekali kelebihannya. Kalau pumped storage memerlukan masa pembangunan sampai lima tahun, ini hanya 1 tahun. Kalau pumped storage tergantung lokasi dan jarang ada lokasi seperti itu, ini bisa dilakukan di mana saja.
Teknologi ini sekarang lagi dipasang di London, Inggris, dengan kapasitas 20 MW. “Akhir Agustus ini sudah bisa dilihat hasilnya,” ujar pemilik teknologi di Kota Chengdu tersebut saat rapat bersama tim PLN di kantornya.
Dengan gambaran seperti itu, perang melawan bahan bakar minyak (BBM) rasanya benar-benar siap dimulai di PLN. Musuh nomor 5 PLN ini harus sudah tumbang tahun depan. Seperti yang sudah saya kemukakan, musuh nomor 1 PLN (krisis listrik) sudah teratasi. Demikian juga musuh nomor 2 (daftar tunggu) dan musuh nomor 3 (wabah kerusakan trafo). Tahun ini musuh nomor 4 (wabah gangguan jaringan) akan selesai. Tahun depan musuh nomor 5 itu, yang mengakibatkan PLN boros triliunan rupiah, semoga menyusul tumbang.
Begitu banyak senjata yang bisa disiapkan untuk memerangi BBM itu. Keterlaluan juga kalau BBM begitu saktinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar