Jumat, 17 Agustus 2012

Lalu, Maka dan Akhirnya


Selama bulan Juli kemarin, saya melakukan banyak perjalanan tapi masih sedikit yang terjangkau: Ambon, Tual, Bima, Sumbawa Besar, Bali, Jogja, Dieng, Purwokerto, Cilacap, Mataram, Tangerang, Lontar dan Makassar. Tentu juga Jatim – he..he..he sekalian menengok rumah, jangan-jangan sudah hilang.
Dari situlah (termasuk dari perjalanan berkali-kali ke berbagai daerah di Sumatera bulan sebelumnya), saya merasakan satu hal : apa sebenarnya keinginan rakyat yang sesungguh-sungguhnya terhadap PLN. Juga tentang sampai di mana PLN sudah memenuhi keinginan tersebut.

Ternyata masih jauh. Jauh sekali. Ada jarak yang sangat lebar antara “yang diinginkan” rakyat dengan “yang diberikan” PLN. Dari sinilah awalnya mengapa sorotan kepada PLN luar biasa buruknya.
Memang teorinya demikian. Karena PLN memberikan pelayanan kurang dari yang diinginkan, maka muncullah ketidakpuasan. Ketidakpuasan ini meningkat menjadi ketidakpercayaan karena jarak antara keinginan dan kenyataan berlebihan lebarnya. Juga terlalu lama kurun waktunya. Ketidakpercayaan pada dasarnya adalah akumulasi ketidakpuasan yang luar biasa besarnya dalam tempo yang luar biasa panjangnya.
Begitu panjangnya akibat ketidakpuasan pelanggan itu. Begitu serius ternyata dampak sebuah ketidakpuasan itu. Begitu fatal ternyata akibatnya. Isu korupsi, boros, tidak efisien, bobrok dan seterusnya itu mungkin tidak akan melanda PLN sehebat sekarang mana kala PLN berhasil memuaskan pelanggan.
Lalu…..
Apakah dengan demikian PLN perlu memberikan pelayanan yang berlebihan sampai jauh di atas yang diinginkan rakyat?
Kalau bisa, yes! Tapi tunggu dulu. Perlu dilihat dulu kondisi intern PLN : apakah sudah punya kemampuan untuk memberikan yang jauh di atas yang diinginkan rakyat itu. Logika awamnya : kalau untuk sekedar memenuhi keinginan saja belum bisa, apakah rakyat percaya kalau PLN menjanjikan sesuatu yang melebihi keinginan?
Saya tahu di masa lalu PLN menjanjikan tiga hal yang semuanya sangat melip : menjadi perusahaan kelas dunia (visi-misi), memberikan listrik kepada 100% penduduk Indonesia (Visi 75/100) dan memberikan pelayanan kelas dunia (World Class Servises/WCS). Saya tidak menilai ketiga hal itu jelek. Saya tidak menilai ketiga hal itu tidak diperlukan. Saya tegaskan bahwa ketiga-tiganya hebat.
Saya hanya merasa bahwa ketiga-tiganya bukan yang sekarang diperlukan rakyat. Rakyat rasanya tidak akan percaya kalau kita mengatakan bahwa PLN akan menjadi perusahaan listrik yang sejajar dengan Amerika atau Inggris atau Jepang! Mendengar tiga motto itu, bisa-bisa, rakyat bukan saja semakin tidak percaya, tapi juga semakin sulit memahami jalan pikiran PLN.
Ingat: ketidakpuasan akan menuju ketidakpercayaan dan ketidakpercayaan akan berujung ke tuduhan kebobrokan. Kata “akan” di situ, dalam kasus PLN harap dibaca “sudah”.
Maka…..
Saya yakin, sampai lima tahun ke depan, belum itu yang diinginkan rakyat Indonesia terhadap PLN. Saya menengarai keinginan rakyat itu sesungguhnya sangat sederhana : Listrik jangan mati. Kalau pun suatu saat listrik harus mati rakyat masih memakluminya. Tapi jangan sering-sering. Sebab, memang, begitu banyak penyebab kematian listrik: penangkal petir yang dicuri orang, tiang listrik yang ditabrak truk, layang-Iayang yang bahannya kian modern, jaringan terkena alat berat dan banyak lagi. Ini juga dialami banyak negara lain, negara maju sekalipun. Tapi mati lampu itu jangan sering-sering dan jangan lama-lama. Setiap kali terpaksa mati harus segera hidup kembali.
Tidak sering-sering itu seberapa jarang? Harus cepat hidup itu seberapa lama?
Keduanya sangat relatif. Tidak sering itu bisa saja jangan sampai setiap bulan sekali. Kalau bisa dalam setahun setiap pelanggan hanya mengalami mati lampu sembilan kali. Rasanya itu sudah satu kemajuan yang hebat. Sudah mencapai standar internasional. Meski belum internasional kelas Amerika atau Jepang atau Inggris. Yang penting setiap kali mati, waktunya jangan lama.
Seberapa lama? Kecepatan ini juga relatif. Untuk orang zaman sekarang ukurannya lebih banyak : jangan sampai ikan di dalam kulkas busuk. Atau, jangan sampai ikan koi di akuarium yang mahal-mahal itu sampai mati! Itu berarti maksimum 3 jam!
Dalam bahasa yang disampaikan oleh GM Jawa Timur, Bung Sulastyo di Mataram pekan lalu, rumusan keinginan rakyat itu bisa disampaikan dalam bahasa yang singkat, puitis dan provokatif: jangan byar-pet, kalau pet, cepet! Saya sudah minta ijin untuk menjadikan rumusan itu sebagai motto darurat PLN saat ini. Bukan untuk menggantikan tiga motto di atas, tapi untuk menjadi motto jembatan antara waktu sekarang dan masa depan itu.
Sekarang konsentrasi kita, warga PLN, sebaiknya fokus memenuhi keinginan rakyat yang sederhana itu dulu. WCS perlu dan pernah dibuktikan bisa dilakukan oleh orang seperti Pak Ngurah Adnyana di Bali beberapa tahun lalu. Tapi terganggu lagi karena dasarnya belum dipenuhi : ketersediaan daya yang cukup. Itulah sebabnya kita perangi dulu pemadaman bergilir. Ini sudah tercapai. Lalu kita usahakan N minus satu untuk ketersediaan daya ini.
Kita perlu membangun kepuasan pelanggan secara terstruktur. Kata “memuaskan pelanggan” kelihatannya seperti sebuah kerja pengorbanan untuk orang lain. Padahal tidak sepenuhnya seperti itu. “Memuaskan pelanggan” pada dasarnya adalah untuk kepentingan kita sendiri juga : merebut kepercayaan itu dan menghindarkan dari tuduhan itu! Memuaskan pelanggan kelihatannya hanya untuk kepentingan pelanggan. Padahal udang yang ada di balik itu adalah batu kita sendiri.
Lebih jelasnya lagi : rakyat kita belum menuntut PLN sehebat Jepang, USA atau Inggris. Rakyat kita sudah akan puas kalau kita bisa sedikit lebih hebat dari Malaysia. Kalau PLN bisa mengalahkan Malaysia saja, rakyat di seluruh Indonesia sudah akan bertepuk tangan bersama-sama yang gemuruhnya mungkin sudah akan sampai nun di sekitar sidratul muntaha.
Mengalahkan Malaysia. Bukan Amerika atau Inggris.
Alangkah dekatnya. Alangkah mampunya. Alangkah realistisnya. Inilah yang harus terwujud di akhir bulan November 2010 nanti di Jawa dan akhir tahun depan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa wilayah lainnya.
Saya sudah keliling begitu banyak wilayah kita. Saya sudah melihat kualitas SDM PLN yang ada di dalamnya: sangat tidak meragukan kemampuannya. Saya sudah melihat fasilitas yang ada dan yang akan diadakan tahun ini dan tahun depan. Semua parameter menunjukkan bahwa kita bisa mengalahkan sekedar Malaysia secepatnya.
Tanpa mencapai tahap itu, kita akan sulit merebut kepercayaan rakyat. Tanpa tahap itu kita tidak akan bisa mulai melangkah memperbaiki sistem outsourcing kita. Tanpa itu kita akan …… (setiap karyawan PLN silakan bebas mengisinya, dan 10 pengisi terbaik akan mendapat hadiah salah satu buku saya. Kirim kan isian tersebut ke email CEO Noted).
Sering keinginan rakyat itu benar-benar tidak berlebihan. Keinginan rakyat Medan terhadap walikotanya, misalnya, tidak banyak. Bisa-bisa cukup tiga hal saja: jangan ada jalan yang berlubang, kalau musim hujan tidak banjir dan PSMS selalu menang! Kalau walikota Medan (juga walikota Makasar, Surabaya dan lainnya) bisa melakukan tiga hal itu saja rakyat sudah sangat puas. Yang lain-lain rakyat bisa melakukannya sendiri.
Demikian juga keinginan rakyat terhadap PLN. Cukup : jangan byar-pet, kalau Kalahkan Malaysia!
Maka saya begitu senang ketika diskusi dengan teman-teman PLN Riau di Pekanbaru : akan melakukan pemeliharaan gardu di malam hari, antara jam 00.00 sampai jam 05.00. Inilah tekad yang semula pasti dianggap aneh. Pemeliharaan gardu kok malam hari. Tapi saya salut dengan tekad ini.
Mati lampu karena ada pemeliharaan selama 7 jam (09.00-16.00) sekarang, di zaman modern ini, sudah tidak bisa diterima oleh rakyat. Apalagi pada jam-jam itu sekarang TV menyajikan acara-acara menarik untuk ibu-ibu. Acara must nonton ini dulu tidak ada. Zaman sudah berubah, tapi jadwal pemeliharaan PLN tidak berubah!
Bagaimana kalau pemeliharaan dilakukan di hari Minggu? Ketika beban paling rendah? Ini juga tidak lagi bisa diterima. Hari minggu, kini begitu banyak acara di masyarakat. Termasuk pengantin. Rakyat tidak akan bisa menerima di saat pesta kebahagiaan itu lampu mati! Pengantin tersebut akan bisa menerima dengan senang kalau lampu mati di malam harinya. Itulah sebabnya teman-teman di Riau bertekad melakukan pemeliharaan malam hari. Sekalian memuaskan pelanggan, sekalian juga memuaskan pengantin baru.
Kerja malam memang tidak biasa. Akan berat. Tapi bukankah orang-orang pembangkitan sudah lama seperti itu? Bukankah teman-teman yang bertugas di gangguan sudah terbiasa begadang malam -bahkan sampai 48 jam? Kini akan menjadi giliran teman-teman pemeliharaan yang akan mengikutinya dengan gagah berani. Sesekali saya akan ikut sampai jam 02.00 sekalipun, seperti saat Trato Muara Karang meledak hari itu.
Apakah kita akan melupakan WCS? Tidak. Untuk WCS kita akan lakukan di sektor-sektor tertentu. O&M pembangkitan kita harus bisa mencapai WCS sekarang. Ini sudah ditunjukkan oleh rekan-rekan kita di PJB. Hebat PJB. IP akan segera menyusul.
Di bidang distribusi WCS juga ada yang harus terwujud sekarang : khusus untuk B to B layanan khusus. Pabrik-pabrik modern, perusahaan-perusahaan tertentu, instansi-instansi vital, dan lapisan masyarakat khusus sudah menginginkan WCS -he he tentu dengan tarit WCS pula!
Akhirnya… ..
Sebentar lagi memasuki bulan puasa. Saya sudah memutuskan untuk tidak mengadakan acara buka puasa bersama. Dari pengalaman saya dan juga aspirasi mayoritas karyawan PLN pusat, tidak ada tempat buka puasa yang lebih nikmat daripada di rumah sendiri. Bersama keluarga. Tapi kantor tetap akan menyediakan ta’jil, makanan dan minuman dalam jumlah dan kualitas yang baik bagi mereka yang tidak sempat pulang karena tekanan pekerjaan yang menumpuk. Juga bagi para.. ha..ha..ha.. kontraktor: mereka yang hidup bujangan mengontrak rumah! Tempat makanan dan ta’jil itu akan di pool di satu lokasi yang paling mudah dijangkau. Bisa dimakan di situ, bisa juga dibawa ke tempat kerja masing-masing. Cara ini boleh diikuti oleh kantor-kantor PLN di unit-unit. Boleh juga tidak.
Selamat berpuasa, jangan lupa bayar zakatnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar