Jumat, 17 Agustus 2012

Lahirnya Bayi-Bayi Baru dan Mulainya SPPD Berkuota


Lahirnya Bayi-Bayi Baru dan Mulainya SPPD Berkuota
Satu per satu PLTU program 10.000 MW mulai menghasilkan listrik. Jumat malam lalu (27 Mei 2011) satu unit PLTU Lontar (beberapa kilometer sebelah barat Bandara Cengkareng) sudah bisa menghasilkan listrik 216 MW dari kapasitasnya 300 MW.
Memang, seperti umumnya PLTU baru, setelah dua hari dicoba, pembangkit tersebut harus dihentikan dulu beberapa hari karena diketahui ada beberapa bagian yang harus dikoreksi. Koreksi ini tidak serius karena hanya meliputi sensor temperatur di super heater, shoot blower yang temperaturnya terlalu tinggi dan cacat di anti-steam explotion. Tidak seperti di Suralaya-8, yang begitu dites, bagian yang penting gagal fungsi. Meski bulan lalu juga berhasil start kembali, prosesnya sempat menjengkelkan. Sebab, alat yang tidak berfungsi itu harus diganti dengan cara mendatangkan alat baru dari luar negeri.

Yang lebih mengesalkan adalah PLTU di Paiton. Begitu dicoba, trafo step-up-nya terbakar. Penyelesaian PLTU ini harus mundur delapan bulan karena trafo 500 kv-nya harus dibuat lagi di pabriknya di Tiongkok.
Dengan selesainya unit-1 PLTU Lontar, kini sudah delapan unit yang menghasilkan listrik. Total sudah sekitar 3.000 MW dari 10.000 MW yang direncanakan. Kalau saja tidak ada masalah trafo di Paiton, angka itu sudah mencapai 3.600 MW. Sampai akhir tahun ini masih tambah lagi beberapa unit, sehingga mencapai paling tidak 4.500 MW yang selesai.
Kita memang sudah sangat lama menunggu lahirnya bayi listrik di Lontar itu. Hamilnya sudah terlalu lama. Teman-teman PLN bekerja keras setahun terakhir ini untuk menjaga agar bayi PLTU Lontar tidak lahir cacat.
Sejak awal proyek ini memang mengalami hambatan besar. Bahkan, sejak pencarian tanahnya yang harus berpindah-pindah. Ketika kali pertama meninjau proyek ini (tidak lama setelah dilantik menjadi Dirut PLN), saya geleng-geleng kepala. Apalagi waktu itu baru saja hujan. Mobilitas alat, barang, dan pekerja sangatlah lebay. Yang terlihat di sekitar proyek hanyalah kubangan dan lumpur. “Ini proyek horor,” kata saya dalam hati saat itu.
Di tengah-tengah horor itu teman-teman yang menangani proyek ini ternyata tidak kehilangan rasa humornya. “Normalnya proyek PLTU itu dibangun dulu, baru kemudian dilakukan firing (pembakaran untuk menghasilkan uap). Tapi, PLTU Lontar ini firing dulu, baru dibangun,” ujarnya.
Tentu saya tidak mengerti di mana lucunya kalimat itu. Setelah diceritakan kejadiannya, barulah saya tertawa. Ternyata, sebelum proyek ini dimulai, penduduk sekitar sempat marah dan melakukan pembakaran yang menghebohkan. Setelah peristiwa pembakaran itu diatasi, barulah proyek bisa dimulai kembali.
Sebenarnya permukiman penduduk cukup jauh dari proyek ini. Areanya terpisahkan oleh persawahan sejauh kira-kira 2 km. Untuk bisa sampai ke proyek ini pun sulitnya bukan main. Harus menundukkan dulu jalan darurat yang berkubang dan berkubang.
Sepintas proyek ini seperti dibangun di tengah persawahan.Ternyata PLTU Lontar juga dibangun di pinggir pantai. Hanya, pantainya berada nun jauh di 2 km sana. Bisa dibayangkan betapa horornya proyek ini. Betapa sulitnya mengerjakannya. Termasuk betapa beratnya membangun water intake dan water outflow-nya. Maka, sejak awal pun saya memastikan bahwa pembangunannya akan lambat.
Yang bisa dilakukan hanyalah bagaimana agar bayi horor ini tidak lebih lama lagi ngendon di kandungan. Juga bagaimana agar kualitas si bayi bisa lebih baik dibanding yang lahir setahun sebelumnya. Setidaknya, jangan seperti yang di Labuhan yang sampai setahun kemudian pun masih terkena asma.
Kalau benar yang selesai pada 2011 ini kualitasnya lebih baik, tentu itu sebuah prestasi. Begitu ketat mengendalikan proyek sekarang ini. Sampai-sampai berbagai ancaman dikeluarkan. Di PLTU Rembang saya sempat mengancam mengusir kontraktornya. Demikian juga di Suralaya-8, manajer proyek di sana benar-benar mengusir pimpinan proyek yang diangkat kontraktornya.
Henky Heru Basudewo, penanggung jawab proyek-proyek itu di Jawa, sampai menciptakan sistem baru agar bisa mengendalikan anak buahnya 24 jam. HHB, begitu panggilannya, terus menguber para manajer proyek seperti menguber perampok. Begitu ketatnya HHB mengendalikan para manajer, sampai-sampai muncul kesan seolah-olah mereka itu seperti terdakwa. Seolah-olah keterlambatan proyek itu gara-gara mereka. Padahal, mereka baru diterjunkan satu tahun lalu, justru ketika proyek-proyek itu sudah sangat terlambat.
Dengan selesainya proyek-proyek itu satu per satu, tekanan untuk pasokan listrik di Jawa sudah berkurang. Tiga bulan lalu pasokan listrik di Jawa kembali memburuk. Yakni, ketika tiba-tiba air di waduk Saguling, Jabar, menurun drastik. PLN tiba-tiba saja kehilangan 1.300 MW setiap hari. Saat itu mestinya kondisi listrik di Jawa hancur-hancuran. Tapi, berkat kerja keras teman-teman PLN di distribusi, masyarakat tidak terlalu merasakan krisis itu. Kini, kalaupun waduk Saguling kehabisan air lagi, tekanan kekurangan listrik tidak terasa lagi.
Sistem pengendalian proyek itu bisa efektif karena BlackBerry. Semua jajaran proyek harus menggunakan BlackBerry agar bisa berkelompok dalam grup BBM. Maka, seluruh jajaran proyek dikelompokkan dalam grup BBM. Saya dan Dirops Jawa-Bali dianggap kepala proyek juga, sehingga kami berdua dimasukkan ke dalamnya.
Di situlah sesama manajer proyek saling melapor, memberikan saran, jalan keluar, memberikan instruksi, memuji, sewot, ngedumel, dan meringis. Bahkan sekadar melucu, untuk melepas stres. Setiap akhir pekan mereka bertukar lelucon. Kadang leluconnya memakai bahasa Suroboyoan sehingga banyak manajer yang Batak protes tidak bisa ikut tertawa.
Dengan sistem BBM itu, praktis sesama manajer proyek terhubung selama 24 jam. Sejak pukul 05.00 sampai pukul 24.00. BBM biasanya sudah “on” pada pukul 05.00. Mulai saat itu siapa pun sudah boleh mulai mengajukan persoalan yang dihadapi hari itu. Sesekali saya ikut nimbrung.
Saya membayangkan, kalau semua unit di PLN membuat grup seperti itu, alangkah efektifnya organisasi ini. Juga alangkah turunnya SPPD, biaya perjalanan dinas. Apalagi, SPPD memang harus turun pascapuasa SPPD sebulan penuh yang berakhir pada 31 Mei 2011 lalu. Apalagi, kini diberlakukan “kuota SPPD’. Kuota ini diterapkan dengan sistem terkomputer, sehingga begitu kuotanya habis tidak bisa di-klik lagi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar